Tulisan ini saya salin dari Facebook. Semoga bermanfaat.
—–
Selama sekian tahun ini , kalau saya seminar pra nikah atau seminar keluarga – saya memberikan beberapa gambaran tentang jalinan pernikahan. Gambaran ini saya berikan berbagai macam dengan penekanan yang berbeda supaya mempermudah peserta seminar untuk mengerti.
Menikah saya gambarkan seperti 2 orang yang naik sampan bersama , dengan masing-masing membawa dayungnya. Butuh tujuan , latihan komunikasi , latihan keseimbangan dan latihan kesepakatan untuk sampannya sampai di tujuan dengan selamat. Kalau egois dan merasa benar sendiri , maka sampannya tidak melaju ke depan tetapi berputar-putar , karena tidak dijaga keseimbangan dan kesepakatan.
Juga pernikahan saya gambarkan seperti 2 orang yang main badminton ganda campuran. Butuh komunikasi yang baik , latihan untuk saling mengerti , butuh saling menutupi kekurangan , butuh latihan untuk menyerang dan bertahan , butuh menjaga kekompakan. Kalau merasa hebat sendiri maka pasangannya akan dipasifkan dan dinonjobkan. Keduanya bisa merasa frustasi satu sama lain.
Pernikahan juga saya gambarkan seperti 2 orang yang naik gunung bersama , sementara ada tali yang tidak putus di antara mereka. Tali menggambarkan ikatan yang saling mempengaruhi , juga ada batas-batas baru dibandingkan saat hidup bujang. Maka kalau 2 orang naik gunung bersama , dibutuhkan latihan sebelumnya untuk mengatasi kesulitan , komunikasi yang baik , kekuatan untuk berjalan dan bertahan , termasuk mengikuti kekuatan yang lemah supaya tetap bersama. Kalau tidak mau latihan dan bekerja sama maka salah satu akan menjadi beban buat pasangannya.
Pernikahan juga saya gambarkan seperti 2 orang yang memasak bersama. Mereka sepakat untuk masak makanan tertentu. Diperlukan persiapan yang baik , komunikasi yang baik , juga selera yang sama atau mirip – karena makanan itu akan dinikmati bersama. Dibutuhkan kesabaran , toleransi juga keterbukaan yang membangun di antara keduanya. Kalau tidak peduli dengan selera dan persiapan , asal-asalan saja – maka ‘masakan kehidupan rumah tangga’ yang mereka olah menjadi tidak enak.
Lalu saat mengisi acara Keluarga Bahagia di radio sekian bulan yang lalu , tercetus 1 gambaran lagi tentang pernikahan. Menikah dapat digambarkan seperti 2 orang yang naik mobil bersama.
Kalau dulu pernikahan sering digambarkan seperti 2 orang yang naik bahtera rumah tangga mengarungi laut kehidupan – kali ini saya menggambarkannya seperti 2 orang yang naik mobil bersama.
Mobil yang dipakai harus prima , semua bagiannya bekerja dengan baik. Mulai dari mesin , roda , rem , pintu , wiper ( penghapus kaca ) , kursinya nyaman, AC nya juga baik dan lancar.
Kalau ada bagian yang tidak bekerja sebagaimana mestinya – maka mobil itu akan mengalami masalah di perjalanannya kelak. Itu menggambarkan betapa sebelum menikah sebaiknya semuanya disiapkan dengan baik. Mulai dari kesepakatan 2 orang , kesepakatan 2 keluarga, pekerjaan yang mapan , tempat tinggal , latihan komunikasi di antara keduanya , juga persiapan ‘penyatuan budaya’ yang berbeda di antara keduanya. Persiapan yang baik akan mempermudah jalannya ‘mobil pernikahan’ mereka.
Mobil juga harus di service secara berkala. Harus ganti olie mesin , olie garden , olie rem , olie persneling – juga harus di tune-up mesinnya. Distel mesinnya sehingga akan lancar bekerjanya. Demikian juga dengan pernikahan. Pernikahan perlu juga di –service. Duduk bersama refreshing untuk menyegarkan visi pernikahan. Membangun komunikasi yang saling memahami dan saling mengasihi. Saling introspeksi diri untuk kepentingan bersama. Bahkan bila perlu ikut retreat bersama suami istri untuk menyegarkan kembali pernikahan bahkan menguatkan kembali hubungan pernikahan yang sudah sekian tahun berjalan.
Service mobil dilakukan berkala supaya mesinnya tetap bisa digunakan dengan baik , demikian juga dengan pernikahan perlu di ‘service secara berkala’ supaya tetap kuat dan segar.
Mobil juga perlu dijaga fungsi gas dan rem-nya. Selain ban dan remnya di periksa secara berkala , juga perlu kesepakatan bersama kapan rem dan gas digunakan. Saat harus mengerem ya harus mengerem , kalau tidak akan terjadi tabrakan. Kapan harus nge-gas ya harus di gas. Kalau tidak ‘mobil pernikahannya’ tidak melaju ke depan , tidak ada perkembangan berarti.
Demikian juga dengan pernikahan. Suami istri mesti memahami kapan saatnya mengerem kapan saatnya nge-gas. Kalau suami maunya nge-gas tetapi istrinya mau mengerem , maka mobil itu akan diam di tempat walau gasnya ditekan pol. Selama remnya juga ditekan pol maka itulah yang disebut gas pol rem pol. Mesin akan panas dan rem akan rusak. Rumah tangga isinya perbantahan dan pertengkaran.
Tahu kapan harus diam , kapan bicara , kapan mengalah untuk kebaikan bersama , kapan bicara mempertahankan pendapat. Tahu saatnya mendengarkan , tahu kapan saatnya bicara.
Kalau keduanya bicara bersamaan atau diam bersamaan , maka tidak ada komunikasi yang terjalin. Tidak ada pemahaman yang dibagikan , maka tidak ada pengertian diantara keduanya.
Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang. [ 1 Petr 3:7 ]